Bolehkah Fidyah Dibayarkan dalam Bentuk Uang?

Puasa Ramadan adalah salah satu kewajiban agama yang difardukan atas setiap orang mukmin dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dan puasa Ramadhan itu merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima yang wajib dijalankan. Tujuan ibadah puasa itu adalah sebagai sarana pendidikan untuk membentuk manusia yang bertakwa dan sekaligus sebagai wujud ketaatan kepada Allah swt.

Namun demikian, Allah swt. di dalam al-Quran memberi perkecualian dari kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan atas orang-orang tertentu yang karena suatu atau lain sebab tidak bisa melaksanakan kewajiban tersebut. Perkecualian ini diberikan sesuai dengan prinsip agama Islam itu sendiri bahwa agama ini bertujuan untuk memberi rahmat kepada manusia (QS. al-Anbiya’ [21]: 107) dan tidak bertujuan mempersulit manusia (QS. al-Maidah [5]: 6; QS. al-Hajj [22]:78). Bahkan dalam ayat puasa sendiri ditegaskan bahwa prinsip pelaksanaan puasa itu adalah memudahkan sebagaimana firman Allah,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ (سورة البقرة: 185)

Artinya, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 185).

Atas dasar itu kepada orang-orang tertentu diberi keringanan (rukhsah) dalam menjalankan ibadah tersebut. Orang-orang yang mendapat keringanan itu adalah: pertama, orang yang memiliki uzur sementara, yaitu orang sakit dan bepergian (musafir). Mereka ini dibolehkan tidak puasa, tetapi diwajibkan membayarnya (mengqadanya) pada hari lain di luar bulan Ramadan (QS. al-Baqarah [2]: 184).

Kedua, orang yang memiliki uzur tetap, yaitu orang lanjut usia yang tidak lagi mampu berpuasa, orang sakit menahun, orang yang penghidupannya adalah dengan bekerja berat, seperti kuli pekerja tambang, kuli pelabuhan atau semacam itu yang apabila berpuasa mereka akan mengalami kesulitan besar dan merasa teramat berat dan menderita. Termasuk juga kategori ini adalah wanita hamil dan menyusui. Kepada mereka ini diberi rukhsah (dispensasi, keringanan) untuk tidak berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak puasa dengan kadar sekurang-kurangnya satu mud bahan pangan pokok (6 ons) (QS. al-Baqarah [2]: 184).

Dalam Tafsir al-Manar ditegaskan bahwa al-ladzina yuthiqunahu dalam ayat tersebut berarti orang-orang yang amat berat dan amat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan tetapi dengan masyaqqah (keadaan berat) yang besar (Juz II: 126]. Arti ini meliputi orang-orang tua yang lemah, orang sakit menahun, pekerja berat di pertambangan, kuli pelabuhan, tukang becak, supir kenderaan besar jarak jauh, termasuk wanita hamil dan menyusui. Mereka diberi rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetapi diwajibkan menggantinya dengan membayar fidyah. Akan tetapi, sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah, jika mereka ini mengupayakan untuk berpuasa, maka hal itu lebih baik. Jika seandainya mereka miskin sehingga tidak mampu membayar fidyah, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah, sesuai dengan firman Allah,

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا (سورة البقرة: 286)

Artinya, “Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya” [QS. al-Baqarah [2]: 286].

Mengenai cara membayar fidyah, apakah boleh dilakukan sekaligus saja atau diecer dengan cara membayar setiap kali tidak berpuasa Ramadhan, maka sesungguhnya tidak ada ketentuan bahwa wajib dibayar secara diecer setiap hari tidak puasa. Karena itu boleh dilakukan pembayaran fidyah secara sekaligus baik sejak saat mulai tidak puasa di bulan Ramadhan maupun setelah selesai seluruh bulan Ramadhan karena itu lebih memudahkan sesuai dengan firman Allah,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ (سورة الحج: 78)

Artinya, “dan tiadalah Dia (Allah) membuat kesulitan bagimu dalam (manjalankan) agama (QS. al-Hajj [22]: 78).

Fatwa dari Lajnah Daimah dari Arab Saudi juga membolehkan membayar fidyah secara sekaligus sebagaimana boleh juga membayarnya secara diecer setiap hari tidak puasa.

Demikian pula, sesuai zahir ayat 184 al-Baqarah, boleh seluruh fidyah itu diberikan kepada satu orang miskin saja atau, bilamana fidyah berupa memberikan makanan, boleh diberikan dalam satu hari saja kepada sejumlah orang miskin sesuai jumlah hari tidak berpuasa (memberi makanan satu hari saja untuk 30 orang miskin karena membayar fidyah puasa 30 hari).

Menurut Syaikh Usaimin pandangan ini dianut oleh kebanyakan ulama Syafi’iah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah. Ibn Muflih (w. 763/1362) dalam Kitab al-Furu’ (IV: 448) dan Ibn al-Mardawi (w. 885/1480) dalam kitab al-Insaf (III: 291), keduanya dari mazhab Hanbali, menegaskan, “boleh menyalurkan pemberian makan kepada satu orang miskin secara sekaligus”. Artinya seluruh fidyah diberikan kepada satu orang miskin saja. Penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676/1277), seorang ulama Syafi’iah, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin (II: 246). Al-Bahuti (w. 1046/1636) dalam Kasysyaful-Qina’ mendasarkan kebolehan tersebut kepada zahir ayat fidyah 184 al-Baqarah di atas.

Seperti halnya memberikan seluruh fidyah boleh kepada satu orang, maka boleh pula memberikan fidyah, bila dalam bentuk makanan siap santap, kepada tiga puluh orang miskin dalam satu hari saja, sesuai dengan zahir ayat fidyah, juga sesuai dengan yang dipraktikkan oleh sahabat Anas Ibn Malik ra., salah seorang sahabat Nabi saw. yang ketika di usia tua tidak mampu lagi berpuasa, lalu beliau mengundang makan 30 orang untuk satu hari saja. Atsar ini diriwayatkan oleh Ibn Mullas (w. 270/883) dalam Suba’iyyat Abi al-Ma’ali, h. 18).

Adapun mendahulukan fidyah sebelum masuknya bulan Ramadhan tidak dapat dibenarkan karena fidyah itu adalah pengganti dari suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan karena uzur tetap. Sementara puasa Ramadhan sendiri, sebelum masuknya bulan Ramadhan, belum wajib dilaksanakan, jadi belum ada kewajiban sehingga karenanya tidak mungkin ada fidyah pengganti kewajiban.

Baca Juga

Tuntunan Ibadah Ramadhan: Tidak Berpuasa karena Menyusui, Wajib Qadha’ atau Membayar Fidyah?

Mengenai wujud fidyah yang dikeluarkan dapat berupa (1) makanan siap santap seperti dilakukan oleh Anas Ibn Malik ra. dalam riwayat Ibn Mullas, (2) bahan pangan seperti gandum, cantel, tamar, atau beras. Hal ini dipahami dari keumuman kata tha’am (makanan) di dalam ayat fidyah. Di dalam hadis-hadis saw., kata tha’am dipakai dalam dua makna, yaitu makanan siap santap dan bahan pangan. Dalam hadis riwayat Muslim Nabi saw. bersabda,

إذا دُعِيَ أحدكم إلى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ (رواه مسلم)

Artinya, “apabila seseorang kamu diundang makan (tha’am), maka hendaklah ia memenuhinya” (HR. Muslim).

Dalam hadis ini kata tha’am berarti makanan siap santap. Sementara itu dalam hadis lain kata tha’am berarti bahan pangan, misalnya dalam hadis Abu Hurairah,

عن أبي هُرَيْرَةَ قال مَرَّ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا فَأَدْخَلَ يَدَهُ فيه فإذا هو مَغْشُوشٌ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ليس مِنَّا من غَشَّ (رواه ابن ماجه)

Artinya, “dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw. lewat pada seorang penjual bahan pangan (tha’am), lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan pangan itu, ternyata tipuan. Lalu Rasulullah berkata: tidak termasuk umat kami orang yang melakukan penipuan” (HR. Ibn Majah).

Dalam hadis ini dan banyak hadis lainnya kata tha’am berarti bahan pangan. Jadi oleh karena itu fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau dalam bentuk bahan pangan. Yang dimaksud dengan bahan pangan di sini adalah bahan pangan yang berupa makanan pokok seperti gandum, cantel atau tamar. Di Indonesia bahan pangan pokok adalah beras, yang dibayarkan sebanyak 6 ons untuk satu hari meninggalkan puasa karena tidak mampu berpuasa.

Dapatkah fidyah dibayarkan dalam bentuk uang senilai bahan pangan? Mengenai pembayaran fidyah dengan uang, maka terdapat perbedaan pendapat ulama. Di antara perbedaan pendapat tersebut, menurut kami pendapat yang membolehkan pembayaran fidyah dengan uang adalah lebih rajih. Ulama-ulama Hanafi ketika membolehkan memberikan zakat fitrah kepada orang miskin dalam bentuk uang beralasan bahwa uang lebih likuid sifatnya dan lebih luwes penggunaannya. Selain itu juga karena alasan bahwa zakat fitrah dan juga fidyah adalah kewajiban yang terletak dalam zimmah, bukan kewajiban kehartaan yang dikaitkan kepada jenis harta tertentu. Atas dasar itu kami berpendapat bahwa pembayaran fidyah dalam bentuk uang adalah sah dan memenuhi ketentuan perintah fidyah.

Dalam fatwa Majelis Tarjih yang termuat pada buku Tanya Jawab Agama, jilid 2: 126-128, ketika menjawab pertanyaan tentang kebolehan membayar zakat fitrah dan fidyah dengan uang, diuraikan panjang lebar arti kata tha’am dalam ungkapan tha’am al-miskin yang disebutkan dalam al-Quran. Menyarikan uraiannya yang panjang, fatwa itu menegasakan,

“Ringkasnya, pengertian tha’am dalam pengertian bahasa, pengertian dalam al-Quran maupun dalam Hadis mempunyai beberapa arti. Dapat berarti makanan, baik yang mentah maupun yang matang. Dapat pula berupa suatu pemberian yang dapat digunakan untuk memberikan santunan terhadap keperluan hidup fakir/miskin, seperti uang” [h. 128].

Akan tetapi dalam kesimpulan kurang diberi penegasan mengenai boleh atau tidak boleh memberikan fidyah dalam bentuk uang. Fatwa itu menyatakan, “Kesimpulannya membayar fitrah dan fidyah, bagi yang tidak mampu melaksanakan puasa, yang utama dibayar dengan memberikan makanan yang masih mentah seperti beras dan sesamanya yang menjadi makanan harian si pembayar” [h. 128].

Oleh sebab itu, dalam fatwa yang sekarang ini dipertegas kebolehan membayar fidyah dalam wujud uang berdasarkan alasan seperti telah dikemukakan di atas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Amalan-Amalan Ringan di Bulan Ramadhan
Next post Hukum Membayar Hutang Puasa Setelah Lewat 2 Kali Bulan Ramadhan