Nyai Siti Walidah Role Model Perempuan Pejuang Kader ‘Aisyiyah
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah periode 2000 – 2005 dan 2005 – 2010, Siti Chamamah Soeratno menyebut, gelar Pahlawan Nasional yang didapatkan oleh Nyai Siti Walidah, bukan karena beliau adalah istri dari KH. Ahmad Dahlan yang juga Pahlawan Nasional.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM ini menegaskan, bahwa gelar Pahlawan Nasional yang didapatkan oleh Nyai Walidah karena memang beliau layak dan memiliki kapasitas, kualitas, dan kapabilitas untuk menyandang gelar tersebut. Maka, bagi para kader ‘Aisyiyah tidak salah jika memilih Nyai Walidah menjadi roll model perjuangan.
Dalam acara Perempuan Mengaji yang diadakan Majelis Tabligh PP ‘Aisyiyah pada (25/12), Siti Chamamah menuturkan, bahwa sulit dipungkiri peran Nyai Walidah sebagai tokoh yang berpengaruh menggerakkan perempuan-perempuan Indonesia. Perjuangan Nyai Walidah menurut Chamamah, terinspirasi dari Al Qur’an.
Penempatan perempuan dan pemberian hak-hak bagi perempuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, memiliki landasan teologis dalam Al Qur’an. Hal itu menjadikan Muhammadiyah ‘unik’ dibandingkan dengan organisasi-organisasi Islam lain. Kesetaraan yang dibangun oleh Muhammadiyah tidak antroposentris, melainkan atas dasar wahyu.
“Perempuan itu memang mempunyai suatu kedudukan, suatu tugas, kewajiban yang besar,” tuturnya.
Pengorganisasian perempuan melalui ‘Aisyiyah yang dilakukan oleh Muhammadiyah atas dasar QS. Ali Imran: 104, mengarah kepada tugas dakwah bukan hanya diemban oleh kelompok laki-laki saja, melainkan juga amanah bagi kelompok perempuan.
Bahkan secara tegas Chamamah menyebut jika ada kelompok yang menempatkan perempuan hanya pada peran domestik, maka diragukan pengetahuannya terhadap Al Qur’an. Ia menyebut, bahwa Nyai Walidah adalah perempuan yang terdidik dan berpendidikan di masa itu yang mampu menggerakkan perempuan untuk kesetaraan akses sama dengan laki-laki.
“Nyai Dahlan itu orang yang berpendidikan, tapi jangan disebutkan formal dan informal. Istilah formal dan non-formal itu adanya tahun 2003, bukan tahun 1873, bukan 1946. Jadi kalau dikatakan ada publik ada domestik, itu istilah yang muncul pada Undang-Undang Pendidikan,” ungkapnya.
Menurutnya, penyematan ‘Orang Berpendidikan’ kepada Nyai Walidah sudah tepat, karena memang beliau menempuh jalur pendidikan sesuai dengan zamannya. Di mana sekolah tempat belajar kala itu di surau-surau atau langgar. Oleh karena itu, jangan menyamakan konsep sekolah dahulu dengan yang zaman sekarang.